slot gacor
slot gacor
slot dana
slot gacor
slot gacor
Oscar Lolang Bicara Tentang "Dewasa", Cuplikan Album Mendatang, dan Ketertarikkannya kepada Perfilman

Bicaramusik.id

Banner 728 X 90
Oscar Lolang Bicara Tentang "Dewasa", Cuplikan Album Mendatang, dan Ketertarikkannya kepada Perfilman
  • By : Bicara Musik
  • 2022-01-03

Oscar Lolang Bicara Tentang "Dewasa", Cuplikan Album Mendatang, dan Ketertarikkannya kepada Perfilman

Bicaramusik.id - Puluhan orang berkumpul di salah satu sudut The Hallway Space yang terletak di kawasan Pasar Kosambi, Bandung, Sabtu (18/12/2021) malam itu. Akhir-akhir ini, kawasan tersebut memang sedang digandrungi muda-mudi Kota Kembang untuk kumpul-kumpul gemas karena menjadi semacam ruang kreatif dengan banyaknya booth dari makanan, minuman, toko loak, hingga aneka pemenuh kebutuhan sandang. Namun, di booth kosong dengan ukuran yang lumayan mewah untuk kamar kost-kostan namun cukup kecil untuk menampung 50 orang lebih malam itu, Oscar Lolang ternyata sedang merayakan peluncuran singgel terbarunya, "Dewasa". Ia melaksanakan sebuah panggung intim lengkap dengan dekorasi panggung rumahan, seperti sofa, televisi, dan tanaman hias. Rekan bermusik sektoanya, Pras, tampil sebagai pembuka sebelum sang empunya acara naik pangugng. Tentu, Oscar menjadikan "Dewasa" menjadi penampilan utama di setlist-nya. Namun, ia juga tidak lupa membawakan beberapa lagu dari album pertamanya Drowning in A Shallow Water, seperti "A Bosnian & A Brazillian", singgel lepasan, "Bila", lagu kolaborasinya dengan The Panturas, "Arabian Playboy", hingga sebuah gubahan ulang yang sederhana dari "Redemption Song" milik Bob Marley & the Wailers, ditambah beberapa lagu lain. Suasana hangat (bahkan panas) pun tercipta dari ruang sempit, teman-teman, dan para penggemar Oscar Lolang yang berkumpul di sana. Beberapa waktu setelah acara intim tersebut, Bicara Musik mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Oscar Lolang. Ia pun menceritakan tentang proses apa saja yang membuat singgel barunya, "Dewasa" bisa tercipta dan membocorkan sedikit tentang albumnya mendatang yang punya banyak relasi dengan nomor tersebut. Selain itu, ia juga membeberkan keingingan masa lalunya untuk menjadi seseorang yang bekerja di bidang perfilman, seperti ayahnya Roy Lolang (sinematografer), ibunya Leni Lolang (produser film), dan beberapa tokoh perfilman lainnya. Simak perbincangan Bicara Musik bersama Oscar Lolang selengkapnya di bawah ini! https://open.spotify.com/track/32XtpgE17q2c3OUyo6W3Np?si=5ac85867aa694ebb Coba ceritain dong "Dewasa" tentang apa! Lagu itu tuh sebenarnya menegur diri sendiri sih. Akhir tahun tuh aku dapet satu job yang nuntut aku untuk tinggal di satu tempat untuk waktu yang cukup lama, di Pekalongan.Waktu itu aku sama tim. Terus aku baru sadar, "Oh ternyata kalau di suatu tempat beberapa hari sama orang tuh kadang kita merepotkan ya." Pas balik dari Pekalongan, aku jadinya refleksi. Kayaknya aku ke orang terdekatku tuh kayak gitu. Mungkin, kita sudah berteman lama tapi kadang aku bisa jadi orang yang sangat merepotkan. Ketika sifat asli kita muncul, sayangnya yang kena imbasnya kadang orang-orang terdekat tapi seringkali kita enggak sadar. Aku enggak pernah benar-benar sadar sampai beberapa hari sama tim di Pekalongan itu. Suatu waktu setelah pulang dari Pekalongan, mungkin karena pandemi juga, lagi rehe-rehe-nya enggak ada manggung enggak ada job, ibuku bilang, "Kamu tuh enggak akan dewasa kalau Kamu nyaman sama diri sendiri terus." Aku jadi throwback ke Pekalongan dan banyak hal sebelumnya. Aku sadar proses pendewasaan itu kita harus dibenturin sama hal baru dulu. Terus aku lihat tweet Suryo (pentolan Uncanny sekaligus kawan bermusik Oscar), dia bilang, "Orang-orang tuh ngerasa dunia cuma berputar di dia sama teman-temannya doang ya." Nah itu aku makin kena lagi. (Tiga hal tadi) jadi inspirasi awal untuk bikin lagu "Dewasa". Ternyata, proses pendewasaan tuh aku harus keluar dari diriku dulu, dari sana aku baru bisa refleksi diri sendiri. Kebanyakan lagu baru setelah album kan banyak bicara tentang diri Oscar sendiri, sedangkan dulu "Eastern Man" membahas sesuatu yang spesifik. Kenapa lagu-lagu yang sekarang banyak ke diri sendiri? Mungkin perbedaan album kemarin dan album yang akan datang, album mendatang tuh lingkupnya lebih kecil. Kalau kemarin kan aku ngomongin tentang Papua, kasus perempuan, Bojongmenje, hal-hal yang jauh di luar aku. Kalau sekarang aku lebih ngebahas soal lingkup terkecil, karena aku rasa kadang-kadang keresahan itu muncul ketika kita berkaca ke diri sendiri. Kenapa kita bisa kepanggil, kenapa kita bisa peduli sama beberapa hal, karena kita melihat ke diri kita sendiri. Intinya gini, kenapa aku dari "Melodies" sampai sekarang ngambil lingkup terkecil itu, karena... ngejelasinnya gimana ya, sesimpel seringkali masalah yang timbul di dunia itu tuh bisa tercermin dari masalah yang ada di sekitar kita, termasuk masalah diri kita sendiri. Sebenarnya ada satu lagu yang akan muncul di album mendatang aku bahas soal kematian. Itu aku bahas waktu omku meninggal dari sudut pandang papaku. Tapi, aku ngambil frame-nya itu, bahwa satu kematian itu matters to banyak orang dan kadang orang enggak ngeh karena kondisi yang lagi marah atau manic atau apa gitu. Tapi, itu kan hal terkecil yang mungkin bisa nyambung ke hal besar. Misal, berbandingan dengan album sebelumnya, "Eastern Man" kan tentang Papua dan pelanggaran HAM, itu kan ada kematian di sana. Kita tuh lupa kalau kematian itu juga ada di lingkungan kita. Di "Dewasa" itu, kalau aku tarik ke hal besarnya adalah sisi ignorant orang ketika berkomentar bisa keluar karena mereka lupa orang di luar mereka. Jadi, masalah itu kadang kita bisa berkaca dari diri kita sendiri tapi harus dibenturkan dengan hal di luar kita juga. Intinya, album ini akan membahas tentang proses pendewasaan di mana ada benturan di luar kita yang bisa kita refleksikan ke dalam sisi terkecil kita, yaitu diri kita sendiri, maupun keluarga, maupun teman-teman terdekat. Ada ngaruhnya ke perkembangan aku secara pribadi. Aku ngerasa proses pendewasaan itu benar-benar terjadi di umur, mungkin... apa istilahnya, quarter life crisis, terutama tahun 2018, bukan tahun yang baik lah buat aku. Di sana lah aku kepikiran buat album ini. Jadi, kalau enggak ada 2018 sepulangnya aku dari Pekalongan atau lihat tweet Suryo, aku enggak akan kepikiran bikin "Dewasa". Di tahun itu juga ada perubahan cara aku bikin lirik. "Melodies" tuh yang pertama aku nulis lirik dengan metode itu. Lagu itu tuh udah direkam di 2018, udah beres master juga tahun itu. Terus kenapa baru dirilis tahun kemarin? Banyak mau kali ya. Albumku tuh sebenarnya tahun 2018 sampai 2019 tuh aku udah ngegodok lagu buat album. Lagunya udah lumayan banyak, yang direkam aja udah ada delapan. Tapi, 2018 sampai 2021 tuh ada yang "kayaknya yang ini enggak perlu deh". Yang udah dirilis sekarang masuk album ada tiga lagu. Oscar kan gaya nyanyinya khas. Dari tiga lagu kolaborasi sama orang, The Panturas, .Feast, sama Jek, kan yang beda cuma sama yang Jek doang. Cara nyanyi Oscar yang itu (spoken words) memang ciri khas kamu? Dapetnya dari mana sih? Itu tergantung karakter lagu sih. Kebetulan aku memang suka story telling, makanya lirikku agak panjang-panjang, termasuk "Melodies". Sebenarnya, awalanya aku suka Bob Dylan terus ada beberapa lagunya yang story telling banget, spoken words dan lain-lain. Terus aku coba lah tapi ternyata susah ya. Terus aku lihat-lihat lagi ternyata di budaya folk tuh banyak yang spoken words, Johnny Cash, Pete Seeger. Aku pelajari mereka tapi namanya kita bukan mereka gitu ya, jadi ada ketidakpuasan dan aku nyari lagi dan dapat referensi dari blues blues prison gitu. Oh ini bisa aku pakai nih. Terlebih lagi, selain folk, aku juga ngambil dari film sebenarnya. Dari cara-cara penuturuan orang di film. Misalnya, di lagu "Arabian Playboy" (The Panturas). Lagu itu kan surf, nadanya Arabian, terus nuansanya tuh villain gitu kan si Abdullah tuh nyentrik, sosok yang nyebelin. Waktu itu aku ngambil dari Batman, Joker, Bane, sama Tom Waits. Kenapa ke Tom Waits, karena dulu ada postingan di 9gag yang bilang kalau Heath Ledger dapat karakter Joker karena ngambil dari Malcolm McDowell (A Clockwork Orange) sama Tom Waits. Kalau "Watcher of the Wall" tuh aku ngambil dari preacher-preacher budak, 12 Years A Slave gitu gitu sih. Tapi tetap, misal aku lihat oh karakter Bane kayak gini, aku coba tiruin karakternya pakai basic yang udah aku temuin di Johnny Cash, di Bob Dylan, kayak gitu sih. Oscar dan film. Apa saja yang Oscar sudah lakukan yang berkaitan dengan film? Untuk soundtrack, kemarin baru bikin untuk layar lebar, Cinta Bete, lagunya "Doa". Terus dulu juga pernah ngisi soundtrack film pendeknya Roufy Nasution (Jeni Lova). Selain soundtrack, kemarin di Banda Neira sempat jadi host dokumenter gitu tapi ada nyanyinya juga. Itu pengalaman baru sih ini 2021, berharganya tuh sangat berharga. Mungkin, salah satu momen terpenting dalam hidupku. Selain momen di Bandanya, pas pulang tuh jadi sutradaranya, Ismail Basbeth, dia nge-challange aku untuk merespons narasumber yang aku wawancara. Terus akhirnya, dia bilang, "Udah yang bikin scoring-nya Kamu aja." Terus aku bilang, "Wah aku belum ada pengalaman Mas." "Tenang ada supervisor-nya kok." Music director langganan dia, Charlie Meliala. Akhirnya itu pengalaman pertama aku bikin scoring meskipun aku cuma bikin musiknya, sisanya Mas Charlie yang beresin sisanya.  Kalau di luar musiknya? Kan Oscar dari keluarga film nih. Ya dulu sih pas SMA dan kuliah. Sebenarnya, dulu cita-cita aku tuh bukan jadi musisi, aku dulu pengin jadi filmmaker, pokoknya aku ingin jadi orang yang bekerja di film. Entah jadi penulis film kayak Adrian Jonathan, ... pokoknya idolaku tuh dulu Adrian Jonathan, Ismail Basbeth, sama Titien Wattimena, oh sama Garin Nugroho. Intinya aku pengin di film lah, entah itu scriptwriter, kritikus, apa pun lah. Eh tapi ternyata malah ke musik. Berarti kan tadi Ismail Basbeth tuh salah satu idola Oscar? Gimana tuh bisa kerja sama? Itu karena PKN (Pekan Kebudayaan Nasional) sih. Aku di-spot bersama beberapa musisi lain. Alhamdulillah aku salah satu yang tembus untuk jadi salah satu talent. Alhamdulillah juga aku dapetnya Ismail Basbeth. Tapi (bicara soal film) film itu enggak pernah hilang dari caraku menulis lagu. Menurutku, dan diamini oleh salah seorang teman, aku tuh kalau bikin musik, meskipun aku tuh orangnya lebih audio, enggak bisa gambar dan lain-lain, aku selalu membayangkan cerita di lagu itu kayak cerita di film. Misalnya di "Easter Man", aku membayangkan diriku di suatu gig, yang tampilnya orang Papua. Nyanyilah dia, "Sa pu mama..." itu. Di situ aku membayangkan diriku jadi bagian filmnya. Itu juga terjadi di lagu-laguku yang lain bahkan sampai "Dewasa". Dari lirik sampai musik aku selalu ngebayangin nuansanya gimana. Itu kenapa jadinya lagu-laguku deskriptif, sinematik. https://youtu.be/ASuOR1FAZ8U Teks:Abyan Nabilio Visual: Selma Fathia
Banner 300x600

RELATED BERITA

RELATED BERITA