Bicaramusik.id

Banner 728 X 90
Jazz Zona Seberang (II) - Pada Akhirnya Jazz Lintas Batas Bukan Ditujukan untuk Bergoyang atau Berdansa
  • By : Bicara Musik
  • 2019-02-26

Jazz Zona Seberang (II) - Pada Akhirnya Jazz Lintas Batas Bukan Ditujukan untuk Bergoyang atau Berdansa

“But now and then a complex personality took the place and assume the office of art, was indeed, in it’s way a real work of art, life having it’s elaborate masterpieces, just as poetry has, or sculpture, or painting.” – Oscar Wilde Bicaramusik.id - Kutipan itu berasal dari novel The Picture of Dorian Gray yang terbit lebih dari seabad silam. Saya sedang menaiki tangga menuju auditorium tempat berlangsungnya penampilan Eyal Maoz ketika membacanya di dinding kaca gedung kantor Komunitas Salihara, beriluminasi dengan sinar matahari sore dan sosok gondrong beruban eksentrik Tony Prabowo, sang kurator Salihara yang kelihatan tengah berdiri di baliknya. Situasi waktu itu sebenarnya tidak begitu baik: saya terlambat sekitar 10 menit dari waktu pertunjukan dan diminta untuk menunggu sampai Maoz menyelesaikan lagu pertama sebelum diperbolehkan masuk. Dari luar saya dapat mendengar suara gitar yang sedang diperkosa bak gemuruh angin ribut. Hal itu membuat saya bergairah semenjak tidak punya ide sama sekali tentang siapa itu Eyal Maoz. Melalui booklet festival informasi dirinya, disebutkan sebagai gitaris-komposer Amerika Serikat yang menyintesiskan rock, jazz dan klasik modern, juga menyentuhkannya dengan elemen Timur Tengah dan elektronik. Gaya pertunjukan Maoz bertumpu pada improvisasi spontan. Dua batang rokok berikutnya berlalu, saya masih belum diperkenankan menonton. Sekarang yang terdengar dari dalam auditorium adalah samar-samar dengung noise. Sialan. Rasa penasaran saya memuncak, dan saat akhirnya diizinkan masuk saya langsung terpukau oleh gaya urakannya; duduk dengan gestur seorang paruh baya yang tidak peduli jika sudah dua hari ini dia alpa meminum pil penangkal asam uratnya. Kabel-kabel pedal efeknya berserakan di kakinya. Sementara Maoz merem-melek asyik sendiri mengeksploitasi instrumen yang ia bawakan dengan penuh ambisi. Berikut opini New York Times pada Maoz yang saya Indonesia-kan: ‘Eyal Maoz menggasak lewat sebuah perpaduan benih-benih baru yang ekspresif, terdidik oleh generasi yang memusatkan diri pada eksperimen.’ Permainan Maoz sebetulnya sederhana. Dia sering hanya memetik gitarnya dengan kunci mayor standar, menyela nafas klasik di tengahnya yang sekejap berserupa nada cetakan Jimmy Page. Namun itu tidak banyak, terlebih ketika dia mengundang drumer Rafi Muhammad dan gitaris Nikita Dompas untuk mengiringinya dalam sesi free jamming gila yang memberondong sekaligus berisik, kasar dan seruntulan. Trio Maoz – Dompas – Muhammad menyediakan wahana bagi seisi auditorium dan menjebak mereka dalam lorong tiga pertalian kimia. Disonansi bahwa musik adalah lagu sudah basi, musik adalah samudera tak berbatas, bebunyian abstrak yang dihasilkan dari kekayaan imaji. Apa yang mereka lakukan tidak termasuk jazz kalau saja bukan Muhammad yang bermain drum, dia mengganjilkan semua improvisasi liar Maoz dan Dompas. Bermain tak tertebak, triplet, double stroke, rudiment sempurna Gene Krupa. Kalaupun tetap mau dikategorikan sebagai jazz, tentu saja ini adalah jazz yang diperuntukkan bagi orang-orang sinting atau mungkin orang-orang yang butuh penyegaran liar demi memuaskan otak yang penuh dengan ganjalan pelik akan rumitnya kehidupan. Maka dari itu saya memutuskan untuk memejamkan mata sejenak. Keluar dari gravitasi. Melanglang buana. Lalu menerbangkan jiwa ke dalam rasukan. Seketika saya tengah berada di pelukan taifun ketika Maoz dan Dompas saling bertempur membenturkan masing-masing emosinya. Lava gunung api, hujan tanah liat, serangan jantung, Hendrix mengunyah salvia, siluet kepala Glenn Branca, lilitan pusar bayi prematur, cincin Saturnus, raja musang, bayangan ratu vertigo dan kini waktunya meloloskan diri. Saya membuka mata tepat di saat bahana tepuk tangan merebak di gema auditorium yang bisu menatap kekaguman hadirin. Bangsat, psikadelia, bangsat. Selanjutnya saya tidak berminat lagi menutup mata. Living is easy with eyes closed, kata John Lennon, sialan, orang itu keseringan teler LSD. Kesadaran yang dipertahankan membuat saya jadi bertanya, bagaimana trio ini bisa begitu menyatu – berapa kali mereka melakukan latihan, atau semua keindahan ribut tadi terjadi secara refleks? Hanya iblis yang tahu, sementara saya memilih untuk tetap membiarkannya sebagai misteri artistik, selain juga sedang tidak bersuasana hati untuk mewawancarai mereka. *** Penampilan kedua hari itu (17/2) sekaligus penutup Jazz Buzz Salihara 2019 adalah Tohpati Bertiga, yang menggandeng empat pemain alat tiup, khusus untuk pertunjukan ini. Saya mengambil posisi paling atas dari barisan kursi amfiteater Salihara dengan dua tujuan: agar mampu melihat jelas dan terpisah dari kerumunan yang membludak hingga terpaksa disediakan alas-alas bantal lesehan demi menampung antusias penonton. Tapi baru saja pantat diparkirkan dan mulai merasa nyaman tiba-tiba satu colekan tangan menyambar bahu saya. Arahnya dari belakang. Pelakunya juga dengan kurang ajar langsung merampas kertas catatan dan bolpoin yang sedang saya persiapkan di gagang bangku sebelum sempat menoleh. “Yang perlu Anda lakukan hanyalah melihat dan perhatikan, mencatat cuma buat pemula,” bisiknya dalam bahasa Inggris. Saya segera mengenali bajingan ini. “Aku punya ingatan yang lemah,” balas saya juga dalam bahasa Inggris. Dia tertawa pelan, sepelan bisikan berikutnya. “Kalau begitu belajarlah mengingat mulai dari sekarang.” “Sialan, kau!” kali ini giliran saya yang tertawa. “Aku punya dua deadline berbeda selain yang satu ini.” “Ya . . . ya . . . ya,” jawabnya sambil mengembalikan barang rampasannya semenit lalu. Formasi Bertiga di bawah sana; Tohpati – bassis Indro Hardjodikoro – dramer Bowie telah menghantam nada pertamanya, sebuah nomor berjudul Singkat yang diakui Tohpati ditulis hanya dalam waktu setengah jam saja. Dan orang yang tadi adalah Otto Sputnik, bule Amerika keturunan Yahudi berusia kira-kira hampir 30 yang baru saya kenal kemarin seusai diskusi Sans Frontieres. Sputnik sudah tinggal selama dua tahun di Bandung, seorang calon doktor etnomusikologi dari Cornell University yang tengah meriset histori perkembangan musik jazz Indonesia sebagai objek disertasinya. Dia juga menyambi misi penelitiannya dengan menjadi penulis kontributor untuk salah satu media jazz lokal. Di orbit panggung, Tohpati tidak pernah gagal membuktikan kualitas dirinya. Titisan gitarnya selalu kuat – pentatonik, diatonik – salah satu talenta jazz terpaten negeri ini. Jazz yang terlas dengan DNA dari musisi fusion seperti Allan Holdsworth, Pat Metheny dan Scott Henderson pun Steve Howe, Eddie Van Halen atau Jeff Beck. Bertiga adalah saluran eksplorasi Bontot (panggilan akrab Tohpati) pada prog rock dengan fusion jazz yang sering menjadi cap artistiknya selama ini. Dan memiliki dramer seeksplosif Bowie, yang juga bermain untuk Gugun Blues Shelter, membuat agresi grup ini begitu liar. Bowie menghajar pirantinya laiknya gorila sirkus yang berhasil kabur dari kerangkeng, banyak gaya, akrobatik namun vital. Ditambah kehadiran Hardjodikoro, virtuoso sudah kesolidan ini. Mereka membawakan Riot nomor lama yang meledak-ledak, berpatah-patah prog-blues. Pujian istimewa patut diluncurkan kepada empat seksi brass yang mengiringi Bertiga bermain. Ada sebuah momen ketika di tengah puncak sebuah lagu Bontot memberi aba-aba fade out kepada Hadrjodikoro dan Bowie, perlahan menyurut hingga berhenti sama sekali, untuk mempersilakan para peniup trombon, trompet, alto-tenor saksofonnya mengambil alih pertunjukan lewat sepenggal tembang Sinanggar Tullo yang menyulap amfiteater ini bak karnaval tarian Tortor. Bontot sudah banyak keluar masuk band selama kurang lebih 30 tahun karirnya. Dan salah satu yang paling elok adalah SimakDialog, grup prog jazz yang disegani karena bermisi trance menaklukkan jelajah fusion dengan fusi etnik Nusantara. SimakDialog telah menghasilkan tujuh album penuh dan memutuskan diri hiatus sejak pianis mereka yang terhormat, Riza Arshad, meninggal dalam tidurnya dua tahun silam. “Riza Arshad tidak pernah goyah terhadap apapun. Dia hanya memainkan sesuatu yang benar-benar disukainya,” ujar Bontot kalem. Extraordinary dibawakan. Bontot menulis lagu itu di hari Arshad cabut, langsung mengambil gitar beberapa saat setelah menerima kabar duka. Bagi Arshad musik adalah pertapaan jiwa, semacam penyelamannya menggapai sensasi spiritual, bukan komoditas bisnis industri. Extraordinary dibuka oleh solo gitar Bontot dan bergulir merangkum karakter fusion kesukaan Arshad; Pat Metheny, tentu saja, lalu Yellow Jacket dan Weather Report. Pertunjukan diakhiri dengan komposisi berjudul Wisdom sekaligus menutup perhelatan Jazz Buzz Salihara tahun ini. “Terima kasih untuk rela melewatkan Debat Capres dan lebih memilih menonton kami,” sambut Bontot di ujung konser menunjukkan kerendahan dan kebijaksanaan hatinya. Di luar amfiteater sepenonton sedang berkerumun, bersosialisasi, mengeluarkan perbincangan atau melampiaskan perasaan lidah asam ingin merokok yang sedari tadi ditahan selama dua babak sepakbola durasi penampilan Tohpati Bertiga. Tampak juga Sputnik di sana, duduk di sebuah kursi panjang merah di sebelah batu Ali Sadikin yang mendapat tabik dari Komunitas Salihara karena dinilai ikut merawat kebebasan berekspresi bangsa ini. Saya menghampiri Sputnik, dia menyambut dengan sarkasme Amerika-nya. “Jadi Anda sudah siap menulis cerita tentang jazz, teman?” kata dia. “Tuhan memberkati orang-orang kulit hitam dari negara Anda,” jawab saya. “Tidak percuma mereka diperbudak selama ratusan tahun jika seratus tahun kemudian bisa menginspirasi orang-orang Indonesia menulis musik seperti yang kita tonton dua hari terakhir ini.” Sputnik tersenyum kecut. “Anda bercanda, kan? Itu kasar sekali.” “Tapi memang itu kenyataannya, Anda harus mengakuinya.” “Well, aku tidak menyetujui pola pikir rasisme, tapi Indonesia punya banyak sekali musisi jazz yang bagus. Aku sudah pergi ke India, Cina, Malaysia, Vietnam, Thailand, di sinilah yang terbaik.” Saya tidak menggubris pernyataan pujiannya tersebut. “Anda pasti sangat menikmati penampilan Tohpati barusan.” “Yeah, man. Aku sudah pernah menonton dia beberapa kali, Indro (Hardjodikoro) adalah pemain bass terbaik yang pernah kusaksikan.” “Dan pemain dramnya juga, dia punya selera humor Keith Moon,” cakel saya. “Ya dua musisi yang serius harus ditengahi seorang pelawak di dalamnya supaya tidak membosankan. Anda menonton Eyal Maoz sore tadi?” tanyanya. “Terlambat di dua lagu awal, tapi aku lebih menikmatinya dibanding Tohpati. Lebih rock & roll, he got two sloppy hand. Dia cocok main di band noise,” saya tertawa. “Kalau Anda sudah selesai dengan sejarah jazz Indonesia untuk penelitian Anda, coba selidiki Rafi Muhammad – album dia bakal bikin Anda terbang, agak seperti Bitches Brew-nya Miles Davis.” “Avant-garde?” balasnya. “Apa maksud Anda?” kata saya, “tidak ada yang lebih avant-garde di dunia ini dibanding Captain Beefheart.” Sputnik meregang tawa. “Ngomong-ngomong, Anda menulis reportase acara ini untuk siapa?” “The New Yorker,” sebut saya. <   Penulis : Rio Tantomo Editor : Antie Mauliawati Dokumentasi : Komunitas Salihara
Banner 300x600

RELATED BERITA

RELATED BERITA