Bicaramusik.id

Banner 728 X 90
#FuckCovid Bersama Grrrl Gang
  • By : Bicara Musik
  • 2020-04-02

#FuckCovid Bersama Grrrl Gang

Bicaramusik.id - Waktu bahkan belum menunjukkan pukul 21.00 saat gerombolan muda-mudi Ibu Kota dan sekitarnya memenuhi gerbang masuk _Oeang yang berada di kawasan M Bloc, Jakarta Selatan. Mereka datang dengan berbagai gayanya. Sebagian mengenakan tank top berbalut kemeja gemas penuh warna. Sebagian lain datang dengan kaus berlapis, tangan pendek di luar dan tangan panjang di dalam. Akan tetapi, di tengah musimnya masker di wajah penduduk kota masa kini, tak ada sama sekali yang mengenakan aksesori tersebut biarpun setelan kebanyakan dari mereka masa kini sekali. Antrean padat di gerbang bukan tanpa alasan. Mulai pukul 21.00 nanti di dalam ­­_Oeang, akan diselenggarakan panggung pelampiasan Grrrl Gang akibat gagal tampil di SXSW, Amerika Serikat tahun ini. Biar pun acara belum mulai, orang-orang membludak karena sepertinya penanggung jawab tempat membatasi kapasitas pengunjung yang masuk. Antrean hanya maju saat ada yang keluar dari venue karena penggemar Grrrl Gang bercampur dengan pengunjung reguler. Memberikan panggung gratis ke band sekelas Grrrl Gang memang terasa agak salah. Beberapa elitis dari kaum yang datang hanya santai duduk-duduk di sekitaran gerbang. Setelan yang lebih rapi, wajah yang juga sama lebih rapinya, dan kepercayaan diri untuk tidak mengantre menunjukkan bahwa ada perbedaan kelas sedikit antara mereka dan gerombolan di depan gerbang.  Nampaknya, mereka yakin kenalan di dalam akan menjemput dan menunjukkan pintu belakang. Benar saja, beberapa rekan-rekan dari Grrrl Gang keluar dan menjemput mereka ke dalam melalui gerbang lain. Di dalam, rekan mereka yang lain nampak tak senang dengan terbukanya pintu belakang. “Emang harusnya enggak boleh ya?” tanya salah satu orang yang sepertinya pentolan dari band lain yang diurus oleh label yang sama dengan tamu utama. “Ya, enggak lah,” jawab rekannya yang sepertinya punya tanggung jawab di acara tersebut. Tapi jawaban itu tentunya tidak mengubah keadaan biarpun suasana canggung menyelimuti area dengan radius setidaknya 3 meter berpusat di si rekan penanggung jawab. Salah satu jebolan yang berhasil masuk pun merasa tidak enak tapi tak berbuat apa-apa juga karena punya kebutuhan lain. Sembari “orang-orang dalam” tadi bicara, duo asal Bali, Alien Kids, sedang berusaha menampilkan performa terbaiknya biarpun mereka seakan salah tempat. Bukan arti tempat sebenarnya karena venue sedikit ke-Bali-Balian. Musik elektronik penuh sequencer dengan balutan suara organik biola di beberapa lagu sebenarnya cocok dengan lampu remang ditambah alkohol ringan yang disediakan tempat tersebut. Namun, sayang massa yang datang bukan untuk mereka. Indikatornya? Sulit mencari flash dari ponsel pintar di suasana seremang namun seramai itu. Mungkin kebanyakan penonton sadar bahwa momen lebih penting dari dokumentasi media sosial. Sebagian pendatang hanya berjoged menghargai. Sebagian lain bergerak seperlunya, mengikuti irama memang, membuktikan bahwa suguhan dari Alien Kids sebenarnya tidak buruk dan sangat bisa dinikmati. Ada satu dua tangan dengan kamera atau ponsel mengarah ke panggung tanpa jarak dengan penonton itu. Mulut mereka yang fasih mengikuti lirik beberapa lagu yang dimainkan memunculkan kemungkinan bahwa mereka teman dekat Alien Kids. Mendekati pukul 23.00, Angeeta Sentana (gitar, vokal) dan kawan-kawan bersiap naik panggung. Mereka –dengan alatnya- terpaksa membelah kepadatan pendatang karena letak backstage dan panggung sedikit mengapit moshpit. Untungya, bagai air Laut Merah yang tunduk pada tongkat Musa, para pendatang juga sama tunduknya pada gitar yang ditenteng Angee. Sang drummer (additional, seperti biasa) yang terlebih dahulu siap dengan hoodie hitamnya langsung memulai dengan gebukan kick dan snare bergantian yang mirip dengan bagian salah satu tembang andalan mereka. “Pop Princess,” teriak pada penonton walaupun entah lagu apa yang mereka mainkan pertama. Tebakan penonton ternyata salah. Permainan drum sang pemain additional yang ternyata bernama Faiz itu secara halus mengantar telinga pada “Love Song” karena memang ketukannya hampir sama. Penonton langsung menggila. Semua yang mereka lihat  dijadikan wahana, termasuk pot berisi tanaman sefamili dengan kelapa yang terletak di kanan (menghadap panggung) belakang venue dan tentu teman-teman sesama penonton. Berbeda dari penampilan Alien Kids sebelumnya, moshpit kini penuh kerlap-kerlip flash ponsel pintar yang menemani lautan manusia dengan ombak ganasnya. Ternyata, mereka bukan manusia-manusia momen seperti dibayangkan. Beres lagu pertama, Mas Gufi –yang dikenal sebagai bapak asuh Grrrl Gang dan kancah Yogyakarta lebih luas- terpakasa ikut naik ke atas panggung. “Yang kondusif ya, itu pot jangan ikut-ikutan dinaikin juga,” pesannya pada mereka yang datang. “Monitor jaga, enggak usah narik-narik mic nanti alat-alat rusak. Nanti enggak bisa bikin acara lagi di sini.” Kekurangajaran penonton saat itu memang wajar karena Grrrl Gang baru saja bangkit dari hiatus. Angee tadinya pergi ke Jepang melanjutkan kuliah. Edo (gitar) baru saja lulus dan dapat kerja di Jakarta. Akbar (bas) tadinya mencoba menyelesaikan kuliahnya di Yogya –tapi untungya (sepertinya) sudah beres sekarang. Karena itu, dapat panggung di SXSW adalah momen yang tepat untuk kembali. Karena itu lagi, wajar juga kalau mereka sekesal itu dan melampiaskan semua di sini. Energi hasil pelampiasan itu ditambah energi muda-mudi yang sudah lama tidak melihat mereka di panggung menyatu dan cukup membuat keadaan hancur lebur. Maklum, ini panggung pertama mereka di Jakarta setelah kembali. Pesan dari Mas Gufi berhasil menurunkan tensi penonton, sedikit. Pot sama sekali tak tersentuh saat mereka melanjutkan set dengan “Just A Game”, “Night Terrors”, beserta beberapa lagu yang belum pernah dirilis tapi sering mengisi set panggung Grrrl Gang seperti “Ghost to You”. Namun, penonton tetap berjibaku dengan wahana mereka dengan tetap saling menaiki badan satu sama lain. Akbar terpaksa menjadi tanker untuk melindungi mikrofon Angee dengan tendangan-tendangan sakti yang diarahkan kepada mereka yang melewati batas suci depan, ditandai dengan monitor. Edo sesekali –sering tepatnya- mengurusi gitarnya yang suaranya kadang timbul tenggelam. Selain itu, salah satu orang di moshpit yang wajah dan tampilannya tidak masuk kategori penonton ikut membantu menertibkan. Bapak-bapak gempal dengan kumis dan rambut mullet khas Orba yang nampaknya penjaga keamanan setempat itu sibuk melempar penonton yang berselancar di atas badan kawan-kawannya ke arah belakang agar tak mengganggu panggung, sedang Faiz si drummer masih asyik bermain dengan balutan hoodie-nya. Agak mengherankan bagaimana ia tidak kepanasan di suasana sesesak itu. Venue ternyata bertingkat dua. Kebanyakan pendatang reguler _Oeang makan dan minum dengan tenang di atas. Beberapa tapi tertarik juga untuk melihat kerusuhan di bawah. “Pada enggak takut corona apa ya?” celetuk salah satu dari mereka dengan senyum geli seakan ingin turut berenang di kolam manusia itu jika usianya sedikit lebih muda. Tema acara ini adalah #FuckCovid jadi, setema dengan setelan pengunjung tanpa sehelai kain pun di wajah mereka, fuck it lah itu penyakit. Perlu diingat pesta belas kasihan atas kegagalan Grrrl Gang pergi ke Negeri Paman Sam ini dilaksanakan pada 13 Maret, pekan terakhir sebelum semua acara yang butuh izin keramaian resmi ditunda atau dibatalkan dan gerakan #dirumahaja betul-betul gencar disebarkan. Sebelum memulai “Pop Princess” akhirnya Faiz si drummer melepas pakaian luarnya. Ternyata di dalam sweater itu ia mengenakan apa yang lebih tepat disebut kain perca yang disilangkan di kedua bahu dan sisi perutnya. Di saat-saat ini lah sang bapak dengan mullet Orbanya mulai bergerak seperlunya, kelelahan mungkin karena sejauh ini kegilaan penonton berada pada puncaknya. Pesan Mas Gufi diawal mulai diabaikan walaupun pot masih tak tersentuh. https://www.instagram.com/p/B9s_EJgnA6p/?utm_source=ig_web_copy_link Angee dan kawan-kawan hanya punya sisa lagu-lagu andalan yang tak mungkin menurunkan tensi penonton. “Thrills” dan “Bathroom” dari Stop This Madness malah makin menambah ke-madness-an di lokasi. Si mullet Orba tak lagi terlihat, Akbar makin sibuk dengan kakinya. “Dream Grrrl”dipilih jadi penutup. Joan –kru drum kawakan yang berpengalaman menangani band sekelas Teenage Death Star (TDS)- pernah berpesan, “Kalau TDS main mah yang lain enggak usah diurusin. Kabel pabeulit, si Acong asal ambil mic overhead. Nyawanya cuma ada di drum. Kalau drum kacau udah kacau semua band kayak gitu mah.” Kata-kata itu terbukti di lagu ini. Keganasan massa Grrrl Gang hampir setara dengan keganasan massa TDS yang melegenda itu. Di tengah lagu, suara semua alat yang dimainkan hilang kecuali drum dan vokal Angee namun suasana tetap stabil hanya dengan dua instrumen tersebut. Untungnya, “Dream Grrrl” punya jeda di sekitaran akhir lagu setelah Ange mengatakan, “And honestly, she’s my dream girl too.” Jeda tersebut dengan tepat dimanfaatkan tim Grrrl Gang untuk merapikan rooting-an semua alat hingga akhirnya Edo berhasil memainkan kocokan satu senar yang mengantarkan pada solo dan chorus terakhir dan menutup penampilan mereka dengan meriah. Kerumunan bubar dengan sekejap setelah Grrrl Gang turun panggung biarpun masih ada selektor lagu yang di jadwal. Sungguh pesta yang meriah (namun tidak patut ditiru) disuguhkan oleh Grrrl Gang malam itu. *Keseruan di atas sementara hanya boleh ditiru di rumah masing-masing (sendiri-sendiri tentunya kalau memang bisa).   Penulis: Abyan Nabilio Foto: George Mundor          
Banner 300x600

RELATED BERITA

RELATED BERITA