slot gacor
slot gacor
slot dana
slot gacor
slot gacor
Corona dan Nasib Orang-Orang di Belakang Panggung

Bicaramusik.id

Banner 728 X 90
Corona dan Nasib Orang-Orang di Belakang Panggung
  • By : Bicara Musik
  • 2020-04-16

Corona dan Nasib Orang-Orang di Belakang Panggung

Bicaramusik.id – Wabah memang selalu mengesalkan. Dia selalu bisa memberi masalah pada peradaban manusia, mulai dari perannya mengakhiri Romawi, menghabiskan sepertiga populasi Eropa, hingga membuat kita terkurung di rumah. Yang terakhir tentu ditujukkan untuk si biadab, corona. Sebagian orang berhasil dibuatnya bertapa di kediaman masing-masing dengan kebosanan yang kurang ajar. Sebagian yang lain terpaksa harus berkorban nyawa di garis depan. Sebagian lagi bingung besok anaknya akan makan apa. Wabah memengaruhi segala aspek kehidupan, termasuk musik. Tulisan ini akan membahas satu bagian kecil dari hal tersebut. Tujuannya tidak semulia mengangkat kesulitan para pelaku kreatif di baliknya sehingga membuat pengambil keputusan sadar harus ada perlakuan khusus untuk mereka menyambung hidup, bukan itu. Corona di judul nampaknya akan memberikan traffic yang baik. Media ini juga terlanjur menyelipkan musik di namanya, maka tidak ada bahasan lain yang bisa dibahas, sesederhana itu. Salah satu penghasilan (mungkin yang utama di negeri kita) para musisi adalah panggung. Karena panggung cenderung butuh keramaian, bukan tindakan bijak untuk menyelenggarakan kegiatan macam itu di masa-masa seperti ini. Penghasilan pun terpaksa menurun bahkan habis sehabis-habisnya. Ditambah lagi, bicara soal ini tidak melulu soal musisi. Banyak profesi yang berkaitan dengan musik selain musisi jika ada niat memecahnya satu-satu. Di panggung sendiri, tim produksi yang berkaitan setidaknya terdiri dari soundman, kru alat (biasanya tiap alat minimal ada satu penanggung jawab), pengatur pencahayaan, dan tukang dokumentasi. Mereka biasanya dibayar perpanggung, mirip dengan cara kerja para pekerja lepas. “Intinya sangat menyedihkan,” ujar Joansyah Permana Putra, salah satu kru drum yang pernah bekerja bersama Polka Wars, The Adams, The Brandals, Teenage Death Star, dan masih banyak lagi saat menceritakan nasibnya selama pandemi. Tadinya, Maret hingga April ini, jadwal “macul” Joan lumayan padat. “Terus datang corona. Sudah kacau. Anyep. Benar-benar kacau,” tuturnya. Dari banyaknya jadwal tersebut, ia mengakui hanya tersisa dua yang lanjut. “Solusinya di studio, shooting untuk video sebagai pengganti panggung untuk mereka yang sudah beli tiket,” tambah Joan. Di hari-hari biasa, saat tidak ada panggungan, ia mencari penghasilan tambahan sebagai penarik ojek online. “Narik ojek juga udah kayak minum obat. Kadang satu kali bunyi, kadang dua bunyi, kadang tiga,” jelas Joan tentang penghasilan tambahan yang sama menyedihkannya. “Bunyi sekali aja sudah syukur.” Joan berharap (walaupun tidak banyak) sebelum bulan Ramadhan yang jatuh pada akhir April, suasana sudah kondusif. Selain bisa memanfaatkan pesanan ojek yang biasanya ramai menjelang berbuka, Ramadhan kali ini tidak seperti tahun-tahun kemarin. “Biasanya bulan puasa itu jadwal cuma satu atau dua, tumben tahun ini banyak banget. Enggak seperti biasa-biasanya,” kata Joan menyesalkan keadaan tahun ini yang ternyata berjalan jauh dari rencana. Ia mengaku tidak punya amunisi cadangan untuk keadaan semacam ini. Sudah panggung tak ada, tarikan ojek pun sepi. Ia terpaksa “menunggu keajaiban dari orang-orang yang masih mampu, atau sangat mampu, atau kaya banget”. “Corona ini memang sialan,” pungkas Joan yang punya tanggungan seorang istri, dua orang anak, dan seourang ibu mertua yang sudah beberapa tahun menderita stroke. Rofi Chatur Priadi juga mengalami hal serupa. Kru drum langganan Tulus ini punya tanggungan yang tak kalah banyak, yaitu seorang istri, seorang ibu, seorang anak, dan tiga orang adik. “Ya kacau,” tanggapnya saat ditanya bagaimana pengaruh wabah ini terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga. Jadwal kerja Rofi yang ditunda atau bahkan dibatalkan dari Maret hingga Mei sudah berjumlah sekitar 18 acara. Dari berjibun acara tersebut, total kerugian yang ia alami sekitar Rp. 22 juta. Itu pun entah acara-acara yang butuh keramaian sudah bisa mulai dilaksanakan di Juni atau belum. “Sejauh ini masih ada tabungan lah. Paling sisanya jual alat-alat sebagian,” aku Rofi mengenai caranya mengakali kebutuhan keluarga. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa manajemen dan artis yang ia bantu memberi donasi untuknya dan rekan-rekan senasib. “Ya cukup lah buat beberapa pekan,” tambanya. Beberapa musisi memang punya usaha sendiri untuk membantu para tulang punggung panggung mereka ini. Barasuara, misalnya, membuat konten bernama “Bersama di Balik Layar”. Iga Massardi cs membuat enam video tutorial yang tayang tiga kali seminggu di Youtube. Mereka menyelipkan QR Code yang mengarah pada laman di mana para penggemar bisa berdonasi untuk tim produksi mereka, BaraGenk. https://www.instagram.com/p/B-E98CBnlFT/?utm_source=ig_web_copy_link Kalau hanya mengambil cerita Joan dan Rofi, tulisan ini akan lebih cocok diberi judul “Corona dan Nasib Kru Drum”. Karena itu, mari ambil satu contoh lain. Cerita ini datang dari seorang kru gitar salah satu band di Bandung. Masih kurang luas untuk mencakup “orang-orang di belakang panggung”? Ya sudah terima saja. Yang satu ini baru saja bisa menyewa kamar pondokannya sendiri karena penghasilannya dari band-bandan mulai stabil beberapa bulan terakhir. Sampai akhir tahun lalu, ia masih tinggal di salah satu ruangan ekstrakurikuler kampus yang tak begitu terpakai, setidaknya tidak dipakai 24 jam dalam tujuh hari. Ia mulai tinggal di sana sejak tahun kedua kuliah, masih di sana sampai lulus di tahun kelima, dan lanjut tinggal di sana beberapa tahun setelah lulus. Mungkin ceritanya mirip dengan Edi Idiot dalam cerpen “Kandang Babi” dari Corat-Coret di Toilet karya Eka Kurniawan. Tapi percayalah Edi yang ini jauh dari kata idiot, sangat bisa diandalkan, dan tak suka sembarangan pinjam uang. Edi yang ini akhirnya mulai melepas kehidupan kandang babinya sejak awal tahun (yang ternyata laknat) ini. “Dengan penghasilan segini, sudah kepikiran untuk sewa kos-kosan dan kirim uang ke orang tua,” katanya. Wabah mengubah beberapa rencana yang telah ia susun rapi-rapi. Uang untuk orang tua terpaksa ditunda. Untuk kos-kosan, karena sudah terlanjur terpaksa ia lanjutkan. “Sejauh ini, untuk makan masih aman sih paling sampai bulan depan,” kata Edi. “Sisa panggungan kemarin masih ada. Untungnya, karena sudah biasa miskin, waktu punya uang pun lebih suka beli barang murah tapi enggak kelihatan murahan dibanding yang branded.” Kalau-kalau bulan depan uangnya habis dan masih belum ada panggung, Edi masih punya cadangan teman untuk ditumpangi. “Pilihan terakhirnya ya pulang ke rumah (orang tua),” keluhnya. Walaupun tak punya tanggungan selain dirinya, hidup sendiri di masa-masa seperti ini membuatnya cukup tertekan, seperti yang sedang musim dirasakan orang-orang seusianya yang menginjak pertengahan 20-an. Tumbuh dewasa dengan ayah yang entah ke mana dan ibu yang punya usaha jaga warung lumayan membuatnya mempertanyakan dunia. Ia peduli pada orang-orang senasib namun merasa tak punya daya untuk membantu dan itu selalu mengganggu pikirannya. Ia pun sering kali berpikir bahwa adalah pilihan yang masuk akal jika orang-orang sepertinya tidak ada di dunia. Itu ditambah keadaan sekarang yang memaksanya berada dalam kesepian yang membabi buta menuntut Edi untuk selalu berpikir ke arah sana. Dari 30 kamar yang ada di pondokan, hanya kamarnya yang lampunya menyala di malam hari. Ini membuat Edi rentan untuk melakukan hal bodoh yang tentu sekali dua pernah ia coba. Saat ditanya apa saja percobaan yang pernah ia lakukan, urat dekat matanya tiba-tiba timbul, dadanya berdegup kencang, dan ia hanya diam sembari terlihat berpikir. Ia pun lebih tertarik menjawab ujung pikirannya dibanding yang tadi. “Kalau enggak miskin juga enggak akan kepikiran ke sana,” jelas Edi terlihat tertekan. “Ditambah lagi kuliah (sosial). Kalau pilih jurusan lain mungkin sudah hidup normal.” Edi pun percaya bahwa ia butuh kontak sosial di saat-saat seperti ini. Akan tetapi, hiburan yang mungkin baginya hanya ponsel, dan media sosial di sana sungguh-sungguh tidak membantu. “Di Twitter orang-orang bacot soal yang masih bandel ke luar rumah,” katanya dengan mimik kesal. “Bayangkan kalau kuli bangunan atau pegawai pabrik punya Twitter. Ditambah lagi TikTok isinya orang pamer semua. Urang (saya dalam Bahasa Sunda) sadar lagi enggak bisa sendiri, tapi yang begitu malah bikin urang nambah ignorance ke orang. Virus sebenarnya bukan corona tapi keserakahan manusia.” Perlu dijadikan catatan, perbincangan bersama Edi ini terlaksana sebelum wacana bantuan sosial dari pemerintah banyak terdengar. Ia pun sadar orang-orang yang ia kesalkan ada (bahkan banyak) benarnya dan membalas mereka di media yang sama membuatnya sama serakahnya dengan mereka. Untungnya, Edi mulai mencoba terbuka kepada teman-teman dekatnya. Bukan bicara soal masalahnya, melainkan tidak menolak kontak sosial yang mungkin dilakukan untuk sekadar mengalihkan perhatian. Ia juga mencoba menyibukkan diri  dengan apa pun di kamar pondokannya agar energinya tidak digunakan hanya untuk berpikir yang tak perlu. “Karena orang lapangan mungkin ya. Kalau dikasih diam kayak begini tenaganya enggak kepakai. Larinya ke pikiran,” jelas Edi. “Makanya sebenarnya lebih betah di kampus karena selalu ada kegiatan. Kalau lagi jangar tinggal cari suluh terus digergaji, dibakar biar energinya keluar.” Cerita dari tiga orang tadi mungkin bisa membuat pegawai negeri sipil dan rekan-rekan yang masih bergaji lainnya bersyukur. Mereka hanya contoh kecil dari keadaan sekarang, bagaikan sebuah diorama yang akan mencakup area lebih luas jika skalanya diperbesar. Karl Marx (yang sering kalian kutip itu) pernah mengungkapkan soal konsep infrastruktur (dasar) dan superstruktur. Dalam hal tersebut, infrastruktur merupakan hal-hal yang berkaitan dengan realitas material dan bisa disimpulkan dalam ekonomi sedangkan superstruktur adalah yang dibangun di atas realitas material, seperti budaya, agama, politik, dan lain-lain. Entah apa hubungannya wabah dan konsep Marx, namun menutup tulisan ini dengan cerita si Edi yang Tidak Idiot  terasa kurang.   Penulis: Abyan Nabilio Foto: Reza Zulmi  
Banner 300x600

RELATED BERITA

RELATED BERITA